Rabu, 29 September 2010

Paradigma Baru Dewan Pendidikan

Paradigma Baru Dewan Pendidikan
Ditulis oleh Bambang Indriyanto, tanggal 03-04-2009

Dewan Pendidikan lahir pada masa di mana dunia pendidikan memasuki era demokratisasi yang sesungguhnya. Relasi antara pemerintah dan masyarakat begitu penting untuk merumuskan kebijakan secara bersama dalam posisi setara. Dengan keberadaannya, Dewan Pendidikan diharapkan menjadi jembatan yang mengakomodasi kepentingan masyarakat, pemerintah, dan praktisi pendidikan.

Maka dikumpulkanlah ketiga komponen tersebut dalam sebuah “majelis”, di dalamnya persoalan pendidikan didiskusikan, pengaduan masyarakat didengarkan dan dicarikan solusi, serta  memberikan masukan dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah dan DPRD.

Dalam perkembangannya, Dewan Pendidikan menjadi wadah penting yang diharapkan turut memecahkan permasalahan-permasalahan seputar pendidikan. Mulai dari penyaluran dana Bantuan Operasional Sekolah, alokasi anggaran pendidikan oleh Pemerintah Daerah, hingga peningkatan kualitas guru.

Selain memahami peran dan fungsinya sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, anggota Dewan Pendidikan juga diharapkan memiliki paradigma yang mampu mengatasi segala permasalahan dengan kacamata yang lebih populis, berpihak kepada kepentingan masyarakat secara luas. Ini dilakukan mengingat subjek pendidikan adalah masyarakat.   

Paradigma tersebut dapat terbangun setelah memahami isu yang akan diangkat menjadi kebijakan. Tiga isu ini tidak akan berubah sepanjang sejarah pendidikan, yaitu pemerataan pelayanan pendidikan, peningkatan mutu, dan efisiensi.

Sekarang pelayanan pendidikan diarahkan karena dua hal; sebagai hak asasi manusia dan kewajiban pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat. Kedua hal tersebut sudah diatur dalam UUD 1945 dan menjadi kewajiban inhern setiap pemegang kebijakan.

Sebagai pemenuhan hak asasi manusia, pelayanan pendidikan diarahkan agar semua warga negara tanpa kecuali mampu menjangkaunya. Tak terbatas usia, jenis kelamin, status ekonomi dan sosial, kondisi fisik, dan keadaan geografis. 

Sementara sebagai kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat, pemerintah mengerahkan segala potensinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk menggolkan skenario besar bahwa target utama berjalannya pemerintahan adalah penyejahteraan rakyat. Unsur-unsur penghalang seperti korupsi, penyimpangan jabatan, dan penyelewengan wewenang diberantas. Undang-undang dibuat sedemikian rupa untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan konsisten pada tanggung jawab yang melekat saat kali pertama menjabat.   

Pemerataan pelayanan pendidikan tidak akan pernah selesai. Standar pelayanan harus terus ditingkatkan. Jangan berpuas diri dengan standar pelayanan minimal yang kini sedang berjalan. Sebab, bagaimanapun, kualitas sumber daya manusia sebuah bangsa dapat tersedia baik jika pendidikan berkualitas telah merata dikenyam masyarakat.    

Peningkatan mutu menjadi isu yang selalu menarik untuk dibincangkan. Kualitas seperti apa yang hendak dicapai agar pendidikan disebut telah bermutu? Mutu seperti apa yang konsisten ditingkatkan agar arah kebijakan pendidikan berjalan sesuai perencanaan? 

Barangkali pendidikan bermutu tidak memiliki batas. Tapi pelayanan pendidikan yang tidak bermutu mudah sekali dikenali. Siapa yang rugi jika pendidikan jauh dari mutu? Tentu saja pemerintah, masyarakat, dan, terutama, siswa.

Apapun alasannya, pendidikan harus memberikan nilai tambah bagi peserta didik, baik itu kecakapan dalam berpikir maupun keterampilan hidup. Pendidikan tidak sekadar menyentuh aspek otak. Hati peserta didik juga turut disentuh. Pada akhirnya pendidikan menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik.   

Ketiga, berkaitan dengan efisiensi. Di negara manapun, tidak ada sumber dana yang mencukupi. Pada saat sumber dana/daya itu tidak mencukupi, maka harus dicarikan solusi, antara lain dengan memilih ongkos yang lebih kecil untuk menghasilkan untung yang lebih besar.

Pendidikan pun demikian. Bagaimana menyelenggarakan pendidikan secara massal dan berkualitas dengan biaya yang mudah dijangkau. Formulasi untuk mendapatkan kondisi demikian terus dicari sambil mengaplikasikan bentuk baru model pendidikan yang relevan dengan perkembangan zaman.

Langkah konkret
Sesuatu yang sangat berbahaya dalam sebuah perubahan adalah tidak beranjaknya paradigma para pelakunya. Dewan Pendidikan lahir dari rahim desentralisasi pendidikan. Maka paradigma lama sentralisasi harus segera ditinggalkan. Dengan berubahnya paradigma, unsur-unsur yang mendukung pada perilaku negatif yang telah membudaya, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dapat dibasmi.

Lalu langkah konkret seperti apa yang yang harus dijalankan untuk membuktikan sebuah paradigma telah berubah? Tiada jalan lain, yaitu dengan melakukan kreasi dan inovasi baru.

Kreasi dan inovasi ini menjadi ruh bagi penunaian peran dan fungsi Dewan Pendidikan. Kreasi dan inovasi seperti apa yang dapat mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu? Solusi konstruktif yang bagaimana yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan pendidikan? Dan, masukan, pertimbangan, dan rekomendasi baru apa yang diberikan kepada Pemda/DPRD dan satuan pendidikan hingga mereka terangsang untuk menelurkan kebijakan dan program pendidikan yang berkualitas?

Independensi Dewan Pendidikan secara hirarkis dari lembaga pemerintahan dapat menjadi modal awal membuktikan kapabilitas. Segala kepentingan masyarakat, pemerintah, dan sekolah diakomodasi, diramu, dan dimunculkan sebagai masukan untuk kebijakan pendidikan yang baik dan berpihak pada kepentingan bangsa. Diharapkan, Dewan Pendidikan sedang menuju ke arah sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MAKALAH DAN ARTIKEL PSIKOLOGI PENDIDIKAN

news artikel

1. Konsep Psikologi Pendidikan


2. Perkembangan Peserta Didik


3. Aplikasi Psikologi Pendidikan


Masalah-masalah pendidikan di Indonesia

enyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:

-Rendahnya sarana fisik,

-Rendahnya kualitas guru,

-Rendahnya kesejahteraan guru,

-Rendahnya prestasi siswa,

-Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,

-Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,

-Mahalnya biaya pendidikan.

Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.



-Negara belum mampu melaksanakan amanat UUD yaitu 20% APBN untuk pendidikan

-sarana dan prasarana pendidikan yang tidak mendukung

-keprofesionalan guru yang rendah

-kesejahteraan guru yang rendah (terkait dengan keprofesionalan)

-pendidikan dijadikan komoditas politik dalam pilkada-pilkada ,dengan kampanye pendidikan gratis

-belum meratanya pendidikan yang layak bagi seluruh daerah diIndonesia

-belum sesuainya pendidikan dengan karakter daearah-daerah dan karakter Indonesia
-moral para pendidik banyak yg rendah.
-SDM bidang pendidikan alias pengajar2 nya harus ditingkat kan kwalitasnya
- fasilitas timpang antara sekolah2 di kota dan di pelosok
- gaji guru yang kecil ( terutama untuk yang tugas di pelosok )
-tidak adanya pemerataan infrastruktur untuk semua daerah.
-begitu ada sekolah dengan mutu pendidikan yg bagus harganya selangit.. ndak terjangkau